Call Our Toll-Free Number: 123-444-5555

Are You Hipster?


Dalam kesempatan kali ini, saya ingin memposting artikel yang berjudul "Are You Hipster?". Mungkin tema ini agak jauh dengan tema yang diharuskan dalam lomba blog Universitas Jember, namun saya rasa pengetahuan tentang artikel ini penting buat teman-teman mahasiswa Universitas Jember. Selamat membaca :)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, priyayi dijabarkan sebagai “Orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat.” Dapat pula kita menyebut priyayi sebagai golongan borjuis, golongan yang selalu ada di semua jaman. Mulai dari abad pertengahan saat kaum borjuis melenggang manis di Perancis, hingga di era kolonial-pascakolonial di Indonesia dimana dalam suku Jawa misalnya terdapat stratifikasi antara orang Jawa yang bekerja sebagai pegawai Gubermen adalah priyayi, sedang kaum tani adalah orang biasa.

Sementara sekarang adalah era postmodern yang Baudrillard sebut sebagai masa hiperrealitas dimana mengkonsumsi adalah standar agar manusia disebut priyayi/borjuis (Baudrillard, 2006). Di era hiperrealitas ini muncul golongan priyayi/borjuis baru, mereka adalah kaum hipster, kelas menengah baru yang hidup dalam gelimang kenikmatan borjuis.

Borjuis-Bohemian
Menurut Oxford English Dictionary hipster berarti “a person who follows the latest trends and fashions.” Kaum hipster adalah manusia trendi, mereka mengkonsumsi objek-objek standar borjuis masa kini: Blackberry, iPhone, Instagram, dan berbagai merk terkenal lain. Dan kaum hipster tidak mengkonsumsi dalam rangka guna, melainkan mereka mengkonsumsi tanda. Karena ini adalah hiperrealitas, saat tanda lebih berguna daripada guna. (Baudrillard, 2006). Maka kaum hipster tidak menggunakan Blackberry atas dasar efisiensi perpesanan lebih cepat melalui fitur messengernya. Tapi yang lebih diincar adalah “via facebook for Blackberry” dalam status mereka, karena semua teman mereka menggunakan hal yang sama, dan mereka harus melakukannya juga, demi prestise borjuis.

Are you hipster

Jika di masa lampau borjuis adalah kaum yang berbeda dengan bohemian, maka di masa kini borjuis justru bersatu padu dengan bohemian. Dalam Bobos in Paradise, David Brooks menyebut golongan hipster sebagai Bobo atau borjuis-bohemian, kelas terpelajar masa kini yang hidup dalam kemewahan borjuis, namun dengan pemikiran dan idealisme bohemian. (Brooks, 2000). Bobo sebagai kaum hipster (kita akan menyebutnya sebagai bobo hipster) adalah manusia paling keren era ini. Di Yogyakarta misalnya, sebagai kota multikultural dan kota pelajar, kaum hipster ini menjamur. Mereka lulusan cerdas dari universitas ternama, mereka paham teori-teori kritis dari berbagai pemikir besar. Hal ini menyebabkan para bobo hipster ini kritis dan tajam dalam hal pemikiran, namun mereka hidup dalam gaya hidup borjuis itu sendiri, sesuatu yang tak terbeli manusia kelas bawah.

Sebagai contoh bobo hipster adalah bohemian karena mereka sebagian besar hanya mau mendengarkan musik-musik indie yang dianggap anti kemapanan (bohemian). Namun disisi lain produk-produk musik indie ini elitis dan berharga lumayan, sesuatu yang menjadikan mereka borjuis. David Brooks mengatakan hal ini sebagai aktualisasi diri, eksistensi bagi kaum bobo hipster terpelajar. Membaca Das Kapital milik Marx sampai volume ketiga adalah aktualisasi diri bobo hipster sebagai bohemian, namun mereka sendiri tak pernah rasakan pahitnya jadi kelas pekerja. Justru ramalan kuno Marx mengenai kelas borjuis menggunakan alat produksi yang mereka miliki sebagai penegasan status pembeda dari kelas pekerja, itulah borjuisnya kaum hipster yang membaca Marx sebagai pembeda dari kelas pekerja yang tak membaca Marx. Lebih lanjut Mereka membaca No Logo Naomi Klein sebagai bentuk protes pada sistem kapitalisme, namun tak sadar bahwa No Logo dan banyak buku perlawanan pada sistem kapitalisme sebenarnya adalah buku terlaris dan secara tidak langsung bersifat kapital. (Heath dan Potter, 2004)

Apa yang dipermasalahkan disini? Adalah dualitas kaum borjuis-bohemian hipster ini. Di satu sisi kaki mereka berpijak dalam kekokohan gaya hidup borjuis yang mewah, namun disisi lain kepala mereka berpikir dalam idealisme bohemian. Mereka menjalani kontradiksi, apa yang mereka gaungkan sebagai bentuk perlawanan pada budaya mainstream atau budaya massa justru adalah bentuk elitisme yang membuat perlawanan mereka lebih mahal ketimbang budaya massa. Sikap radikal dan anti-kemapanan mereka justru memapankan hipster dalam borjuasi. Radikal mereka menjual, produk paling menjanjikan bagi kapital yang awalnya mereka lawan dengan sikap bohemian.

Radikal Itu Menjual
Andrew Potter dan Joseph Heath membedah dualitas kaum borjuis-bohemian hipster ini dalam buku mereka The Rebel Sell. Secara gamblang dijabarkan upaya melawan budaya massa dalam bentuk apapun (buku, musik, film, gaya hidup, dll) justru sebenarnya lebih laris dan menjual ketimbang produk budaya massa itu sendiri. Dan berharga lebih mahal. (Potter dan Heath, 2004). Maka kawasan distro dan clothing store menjamur di kawasan Demangan Jogja hadir sebagai bentuk perlawanan pada Nike, Adidas, Gap, dan industri pakaian yang mainstream. Namun sesungguhnya distro ini lebih kapital, harga baju yang mereka jual lebih mahal dan berkesan elitis. Kemudian band-band indie banyak hadir di Yogyakarta, sebagai bentuk perlawanan pada sistem industri musik yang kapital, namun sesungguhnya mereka lebih mahal dan elitis karena produk musiknya dibuat terbatas dan dijual dengan harga lumayan. Konser-konser indie didaulat sebagai budaya tanding pada Dahsyat ataupun Inboxyang mainstream dan mahal, namun mereka yang hadir di konser indie itu sendiri bergaya hidup mahal dan mengkonsumsi benda-benda mahal. Radikal itu menjual, dan kaum bobo hipster memilih radikalisme itu sebagai ajang aktualisasi diri mereka sebagai bohemian yang anti kemapanan, sekaligus menegaskan status borjuis sebagai kaum yang mampu membeli produk elite tersebut.

Sebenarnya kaum bobo hipster ini adalah corong bangsa karena mereka memiliki akses lebih ke dunia pendidikan dan media informasi. Barangkali jika mau, mereka punya banyak kesempatan melahirkan wacana-wacana yang berguna untuk menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Kaum bobo dapat memanfaatkan idealisme bohemiannya untuk benar-benar turut serta membela berbagai kepentingan kelas bawah dan tertindas. Karena mereka paham isu-isu kelas bawah tersebut, bobo hipster yang terpelajar pandai menganalisa berbagai data dan fakta. Namun alih-alih ikut turun ke jalan dalam rangka perayaan kelas pekerja dalam May Day, atau melontarkan wacana yang mampu menggugat undang-undang perburuhan agar lebih memihak kelas pekerja, kaum hipster lebih suka berkoar di dunia maya dalam 140 karakter ala Twitter.

Inilah permasalahan sebenarnya dari bobo hipster yang patut kita gugat: mereka enggan turun ke permasalahan yang sebenarnya, radikalisme mereka sebatas wacana. Dan bobo hipster sibuk sendiri dalam dunia mereka yang mewah borjuis sekaligus kritis bohemian. Lama-kelamaan bobo hipster tidak gunakan kekritisan pemikirannya untuk mempertanyakan alasan kenapa mereka bertahan dalam gaya hidup borjuis-bohemiannya. Mereka jadi hipster, yang mengikuti trend dan mode mana yg dianggap paling radikal, dalam rangka mempertahankan status mereka sebagai kaum hipster: kaum priyayi atau borjuis masa kini.

Kunjungi juga artikel yang lain :
Potret Universitas Jember
Lomba Blog Unej
FKIP Universitas Jember
Fasilitas Umum Universitas Jember
History of Jember University
Catatan Wajib Maba Unej
Sosok Inspiratif Universitas Jember
SBMPTN 2013
UM Universitas Jember

0 komentar:

About

Contact Details