Setelah kemarin kami mempostingkan tentang Film - Film Inspiratif Indonesia Bag.1, nah disini kami akan sajikan lanjutannya. Ok, Check this Out!
Garuda Di Dadaku adalah film keluarga yang bercerita tentang Bayu,
seorang anak SD,yang tiggal di perkampungan sesak di Jakarta dan Bayu
mempunyai mimpi menjadi seorang pemain bola dan masuk ke Tim Nasional
Indonesia. Bayu mempunyai bakat bermain sepak bola dari ayahnya yang
dulunya juga adalah seorang pemain sepak bola. Sayangnya, cita-cita Bayu
itu ditentang oleh sang kakek yang lebih senang melihat Bayu mengikuti
berbagai macam kursus demi masa depannya namun teman dekat bayu yang
bernama Heri selalu meyakinkan bahwa Bayu sangat memiliki talenta untuk
menjadi pemain bola Nasional dan Heri juga yang selalu mengajak Bayu
untuk ikut ke ajang seleksi pemain nasional usia dibawah 13 tahun.
Ternyata kakek mempunyai alasan yang kuat kenapa ia melarang Bayu
bermain bola. Ayah Bayu yang dulunya seorang pemain bola mengalami
cedera berat pada waktu itu sehingga tidak bisa bermain bola dan
akhirnya hanya menjadi seorang supir taksi. Kakek Bayu tidak mau nasib
yang sama menimpa Bayu cucu yang ia sayangi. Bayu yang benar-benar
mencintai sepak bola tidak mau begitu saja menuruti apa kata kakeknya.
Masalah pun muncul ketika Bayu membohongi kakeknya yang mengira bahwa
ia berbakat menjadi seorang pelukis. Tidak diduga kakek datang dan
melihat Bayu di sekolah sepak bolanya dan tiba-tiba ia terserang
penyakit jantung dan dilarikan ke rumah sakit. Bayu merasa bersalah dan
menyesal telah membohongi kakeknya dan ia memutuskan untuk berhenti
bermain bola.
Kenapa film ini disebut dengan Garuda? Karena Garuda adalah lambang
Negara kita. Dengan logo garuda yang disemangatkan dalam seragam
nasional pemain sepakbola anak-anak u-13 membuat Bayu (yang dimainkan
oleh Emir Mahira) yang berusaha mati-matian untuk menjadi pemain sepak
bola handal dan dalam film Garuda di Dadaku ini kita dapat melihat dan
merasakan aroma perjuangan sang Bayu anak yang masih duduk di bangku
kelas 6.
Dirilisnya film Garuda di Dadaku menunjukan rasa nasionalisme melalui
film genre olahraga dan nasionalisme. Film garuda di Dadaku diterbitkan
untuk sebuah misi untuk dunia sepak bola Indonesia agar lebih maju.
Disutradarai oleh Ifa Isfansyah, sedangkan pemeran utamanya Aldo
Tanzani, Emir Mahira, Marsha Aruan dipilih hasil penyaringan casting dan
aktor professional lainnya. Background pengambilan film Garuda di
Dadaku di beberapa tempat di Jakarta, seperti staduyn Utama Bung Karno,
dan komplek Istana Olahraga Senayan, dan perkampungan di Jakarta.
Intinya jenis film Garuda di Dadaku, mengisahkan bagaimana perjalanan
seseorang menjadi seorang juara sejati melalui proses yang panjang dan
melelahkan untuk menjadi seorang juara sejati. Sang juara sejati tak
akan menyepelekan lawan, dan tak mudah terpengaruh.
Melalui film Garuda di Dadaku ini rasa nasionalisme hadir pada
harapan Bayu kecil dengan timnya yang bermimpi kelak dapat bermain di
stadion Bung Karno dan mereka dapat menjadi kebanggaan rakyat Indonesia.
Walaupun tujuan utama film ini adalah untuk menhibur namun ternyata
Film Garuda di Dadaku memiliki maksna yang besar terhadap kemajuan sepak
bola Indonesia.
Ketika Timor-Timur
berpisah dari Indonesia, perpisahan juga terjadi di antara kakak-beradik
yang saling menyayangi. Mereka hidup dalam kondisi dan lokasi yang
berbeda oleh sebab yang tidak mereka mengerti. Merry (10) tinggal berdua
dengan ibunya, Tatiana di sebuah kamp pengungsian di Kupang, NTT.
Sementara kakak laki-lakinya, Mauro (12) tinggal bersama pamannya di
Timor Leste.
Tatiana dan Merry hidup di kamp bersama ratusan ribu pengungsi lainnya, di antaranya Abubakar, seorang keturunan Arab yang sudah turun-temurun hidup dan tinggal di Timor-Timur. Tatiana mengajar di sekolah darurat. Merry juga bersekolah di tempat itu bersama Carlo, seorang anak laki-laki yang sangat jail dan suka menggangu Merry—itu dikarenakan Carlo ingin sekali mempunyai seorang adik dan merasakan kembali cinta kasih keluarga.
Kehidupan yang sangat berat di kamp pengugsian dan di tengah ketidakpastian akan keberadaan anak laki-lakinya, tidak membuat Tatiana menjadi lemah. Kerinduan Merry akan kakaknya dan penderitaan yang begitu mendalam dari sang ibu, membuat Merry menjadi anak perempuan yang cerdas dan nekad.
Secercah harapan mekar kala suatu hari, dari seorang relawan, Tatiana mendapatkan informasi adanya kemungkinan ia bertemu kembali dengan anak laki-lakinya itu. Apakah harapan ini dapat terwujud? Dapatkah Merry berkumpul kembali dengan kakaknya, Mauro?
Tatiana dan Merry hidup di kamp bersama ratusan ribu pengungsi lainnya, di antaranya Abubakar, seorang keturunan Arab yang sudah turun-temurun hidup dan tinggal di Timor-Timur. Tatiana mengajar di sekolah darurat. Merry juga bersekolah di tempat itu bersama Carlo, seorang anak laki-laki yang sangat jail dan suka menggangu Merry—itu dikarenakan Carlo ingin sekali mempunyai seorang adik dan merasakan kembali cinta kasih keluarga.
Kehidupan yang sangat berat di kamp pengugsian dan di tengah ketidakpastian akan keberadaan anak laki-lakinya, tidak membuat Tatiana menjadi lemah. Kerinduan Merry akan kakaknya dan penderitaan yang begitu mendalam dari sang ibu, membuat Merry menjadi anak perempuan yang cerdas dan nekad.
Secercah harapan mekar kala suatu hari, dari seorang relawan, Tatiana mendapatkan informasi adanya kemungkinan ia bertemu kembali dengan anak laki-lakinya itu. Apakah harapan ini dapat terwujud? Dapatkah Merry berkumpul kembali dengan kakaknya, Mauro?
Rara (Dwi Tasya), 8 tahun, sangat ingin
punya jendela di rumahnya yang kecil berdinding tripleks bekas di sebuah
perkampungan kumuh tempat para pemulung tinggal di Menteng Pulo,
Jakarta. Si Mbok (Ingrid Widjanarko), nenek Rara yang sakit-sakitan dan
ayahnya Raga (Rafi Ahmad) yang berjualan ikan hias dan tukang sol
sepatu, tidak cukup punya uang untuk membuat atau membeli bahkan hanya
selembar daun jendela dan kusennya. Rara juga punya Bude, Asih (Yuni
Shara).
Bersama teman-temannya sesama anak pemulung, sebelum ngamen atau ngojek payung jika hari sedang hujan, Rara bersekolah khusus untuk anak jalanan. Bu Alya (Varissa Camelia) satu-satunya pengajar sukarelawan yang membimbing dan membina anak-anak pemulung tersebut.
Di perumahan mewah Jakarta, Aldo (Emir Mahira), 11 tahun, yang sedikit terbelakang, merindukan seorang teman di tengah keluarganya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ia anak bungsu dari pengusaha sukses, Pak Syahri (Aswin Fabanyo) dan Nyonya Ratna (Alicia Djohar). Kehadiran Nek Aisyah (Aty Cancer), ibu Pak Syahri, menjadi penghiburan untuk Aldo. Suatu hari, Aldo berkenalan dengan Rara yang saat itu tengah mengojek payung dan terserempet mobil Aldo. Sejak itu mereka menjadi akrab.
Di rumah Aldo semua panik karena karena Aldo minggat dari rumah, kecewa dengan sikap kakaknya yang terang-terangan mengatakan merasa malu memiliki adik seperti dirinya. Berbagai peristiwa yang mengejutkan dan menyentuh bergulir bersama kisah persahabatan Rara dan Aldo.
Bersama teman-temannya sesama anak pemulung, sebelum ngamen atau ngojek payung jika hari sedang hujan, Rara bersekolah khusus untuk anak jalanan. Bu Alya (Varissa Camelia) satu-satunya pengajar sukarelawan yang membimbing dan membina anak-anak pemulung tersebut.
Di perumahan mewah Jakarta, Aldo (Emir Mahira), 11 tahun, yang sedikit terbelakang, merindukan seorang teman di tengah keluarganya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ia anak bungsu dari pengusaha sukses, Pak Syahri (Aswin Fabanyo) dan Nyonya Ratna (Alicia Djohar). Kehadiran Nek Aisyah (Aty Cancer), ibu Pak Syahri, menjadi penghiburan untuk Aldo. Suatu hari, Aldo berkenalan dengan Rara yang saat itu tengah mengojek payung dan terserempet mobil Aldo. Sejak itu mereka menjadi akrab.
Di rumah Aldo semua panik karena karena Aldo minggat dari rumah, kecewa dengan sikap kakaknya yang terang-terangan mengatakan merasa malu memiliki adik seperti dirinya. Berbagai peristiwa yang mengejutkan dan menyentuh bergulir bersama kisah persahabatan Rara dan Aldo.
Pertengahan tahun 1988 Alif akan lulus
SMP. Bersama sahabatnya, Randai, mereka berharap bisa masuk SMA terkenal
di Bukit Tinggi, lalu lanjut kuliah di ITB. Namun Amaknya menginginkan
Alif untuk masuk ke Pondok Madani, sebuah pesantren di sudut Ponorogo,
Jawa Timur. Alif memberontak tapi akhirnya memenuhi pinta orangtuanya
walau setengah hati.
Ketika tiba di Pondok Madani, dilihatnya tempat itu 'kampungan' dan mirip penjara karena peraturan yang ketat dan keharusan ikut kelas adaptasi setahun. Alif sering menyendiri. Seiring berjalannya waktu, Alif mulai bersahabat dengan teman-teman satu kamarnya, yaitu Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, dan Dulmajid dari Madura. Mereka berenam selalu berkumpul di menara masjid dan menamakan diri mereka Sahibul Menara alias para pemilik menara.
Suasana kian menghangat di kelas pertama, saat Alif disentak oleh teriakan penuh semangat dari sang Ustadz: Man Jadda Wajada! Arti kata itu adalah: Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. "Mantra" ini lah yang menambah motivasi keenam anak itu bermimpi. Suatu sore, para Sahibul menara menatap awan dan bercita-cita untuk keluar negeri. Alif melihat benua Amerika di awan. Raja menata Eropa, Atang menggambar Afrika. Dulmajid dan Said melihat Indonesia. Sedang Baso, Asia. Man Jadda Wajada Alif bergeser: dari niat untuk keluar dari pondok Madani, menjadi bersungguh-sungguh mengejar mimpi.
Ketika tiba di Pondok Madani, dilihatnya tempat itu 'kampungan' dan mirip penjara karena peraturan yang ketat dan keharusan ikut kelas adaptasi setahun. Alif sering menyendiri. Seiring berjalannya waktu, Alif mulai bersahabat dengan teman-teman satu kamarnya, yaitu Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, dan Dulmajid dari Madura. Mereka berenam selalu berkumpul di menara masjid dan menamakan diri mereka Sahibul Menara alias para pemilik menara.
Suasana kian menghangat di kelas pertama, saat Alif disentak oleh teriakan penuh semangat dari sang Ustadz: Man Jadda Wajada! Arti kata itu adalah: Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. "Mantra" ini lah yang menambah motivasi keenam anak itu bermimpi. Suatu sore, para Sahibul menara menatap awan dan bercita-cita untuk keluar negeri. Alif melihat benua Amerika di awan. Raja menata Eropa, Atang menggambar Afrika. Dulmajid dan Said melihat Indonesia. Sedang Baso, Asia. Man Jadda Wajada Alif bergeser: dari niat untuk keluar dari pondok Madani, menjadi bersungguh-sungguh mengejar mimpi.
11. 5CM
Genta, Arial, Zafran, Riani, dan Ian merasa “jenuh” dengan persahabatan mereka dan memutuskan untuk berpisah, tidak saling berkomunikasi satu sama lain selama tiga bulan lamanya. Selama tiga bulan mereka bertemu kembali dan merayakan pertemuan mereka dengan sebuah perjalanan penuh impian dan tantangan. Sebuah perjalanan hati demi mengibarkan sang saka merah putih di puncak tertinggi Jawa pada tanggal 17 Agustus.
Genta, Arial, Zafran, Riani, dan Ian merasa “jenuh” dengan persahabatan mereka dan memutuskan untuk berpisah, tidak saling berkomunikasi satu sama lain selama tiga bulan lamanya. Selama tiga bulan mereka bertemu kembali dan merayakan pertemuan mereka dengan sebuah perjalanan penuh impian dan tantangan. Sebuah perjalanan hati demi mengibarkan sang saka merah putih di puncak tertinggi Jawa pada tanggal 17 Agustus.
Kunjungi juga artikel yang lain :
Potret Universitas Jember
Lomba Blog Unej
FKIP Universitas Jember
Fasilitas Umum Universitas Jember
History of Jember University
Catatan Wajib Maba Unej
Sosok Inspiratif Universitas Jember
SBMPTN 2013
UM Universitas Jember
Sangat membantu dan informatif sekali, coba kalian baca juga nih 5 Pembisnis Sukses Membangun Bisnins Sejak Belia
BalasHapus1xbet 2021 - Riders Casino
BalasHapusIf you're in 진주 출장안마 a rush to make 1xbet 먹튀 your first deposit on 부천 출장샵 a new casino account and wish to use your funds wisely, then you are 김포 출장마사지 in 다파벳 for a treat. Read on for